Hingga Matahari Meninggi Di Penang

Dalam cetak biru itinerary yang kami buat secara ambisius, karena ketidaktahuan kami akan keadaan Penang, kami merencanakan untuk mulai menjelajah Penang sejak pagi buta. Maksudnya sih biar puas keliling seharian. Gak tanggung-tanggung, kami bertekad akan meninggalkan hostel pukul 06:00 pagi! Ambisius banget kan? Hihihi… Semangat pagi itu adalah menaklukkan Penang Hill ketika matahari masih mengintip malu-malu, lalu menyelesaikan Kek Lok Si Temple, dilanjutkan dengan menikmati Khoo Kongsi di tengah hari, dan seterusnya, dan seterusnya.

Oh ya, sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita tahu sedikit tentang Penang. Informasi yang saya himpun menyatakan bahwa Pulau Penang adalah tempat mendaratnya Kapten Francis Light di Malaysia pertama kali. Pada pertengahan abad ke-18 terjadi pertempuran antara Siam dan Burma. Entah apa relevansinya dengan Kesultanan Kedah, tapi Sultan Kedah saat itu meminta pertolongan Inggris untuk menghindari pertempuran tersebut. Sebagai balas jasa, Sultan Kedah setuju untuk menyewakan Pulau Penang kepada Inggris.
Mungkin sebagai langkah awal, Kapten Francis Light pun datang ke Pulau Penang. Mau lihat-lihat kali ya… Tapi mungkin emang dasarnya Inggris saat itu wataknya watak penjajah ya, belum juga ada kata sepakat antara para pihak, eh udah langsung dikuasain aja tuh pulau… dan segera saja, Pulau Penang menjadi pusat administrasi kolonial Inggris untuk wilayah Timur Jauh. Pulau Penang saat itu terkenal dengan rempah-rempahnya seperti cengkeh dan pala, dan segera mahsyur sebagai pelabuhan pusat kegiatan ekspor berbagai macam barang dari dataran-dataran disekitarnya. Kilaunya memudar ketika Singapura mulai digunakan sebagai pelabuhan dan jalur penghubung perdagangan.

Oke, kembali ke kebimbangan kami akan tempat tujuan wisata yang pertama ingin dikunjungi, sebenarnya keinginan menikmati Penang dari titik tertingginya di atas permukaan laut timbul karena membaca blog seorang ekspatriat Pinoy yang tinggal dan bekerja di Penang. Melihat indahnya Penang saat pagi masih berkabut membuat kami juga ingin merasakan keindahan itu.
Tapi lelah yang mendera #eaaa setelah perjalanan panjang dari Kuala Lumpur membuat kami bahkan baru membuka mata pukul 6 lewat. Hihihi… kebetulan baik saya maupun Erma tidak sedang shalat saat itu. Jadilah kami memaksa mata untuk terbuka dan setengah hati menyeret langkah ke kamar mandi. Pukul 07:30 kami meninggalkan hostel, dan bimbang memutuskan, mana yang lebih dulu dikunjungi. Penang Hill atau Kek Lok Si?

***
Jumat pagi itu kami mulai menemukan kenyataan bahwa… membutuhkan kesabaran yang tinggi untuk menunggu Rapid Penang yang datang paling cepat 15 menit sekali. Juga kesabaran untuk menolak peminta-minta yang mendatangi kami berkali-kali. Juga kesabaran menghadapi cuaca Penang yang berubah-ubah dalam waktu singkat. Saat itu langit mendung dan tak lama gerimis kecil mulai meningkahi Penang. Tapi sesaat kemudian dan siang harinya sungguh membuat kami mandi keringat. Rasanya matahari Penang tak kalah panas dan garangnya dengan Cirebon! Teriknya sungguh membuat gerah. Tak ada angin sama sekali.

Sambil menunggu Rapid Penang, saya dan Erma berdiskusi dan akhirnya memutuskan untuk mengunjungi Kek Lok Si Temple terlebih dahulu, baru kemudian menuju Penang Hill. Keputusan kami ini dipengaruhi juga oleh kenyataan bahwa lebih banyak Rapid Penang yang menuju Kek Lok Si, daripada yang menuju Penang Hill. Dalam peta yang kami ambil gratisan dari hostel tempat menginap, tertulis hanya ada satu Rapid Penang yang menuju Penang Hill, yaitu Rapid Penang nomor 204. Sementara ada beberapa pilihan jika kita ingin mengunjungi Kek Lok Si. Ada Rapid Penang nomor 201, 203, 204, atau 502. Kami naik Rapid Penang nomor 201 yang datang lebih cepat, dan meminta pada pak supir untuk menurunkan kami di jalan terdekat dengan Kek Lok Si Temple. Sayang sekali, saya lupa nama jalannya. Yang jelas, setelah turun dari bus, kami hanya tinggal menyusuri jalan yang ramai dengan pedagang buah dan alat-alat sembahyang di kedua sisi jalan.


Lihat deh nama tokonya. Menohok hati banget ya 😆

Dari kejauhan sudah terlihat Kek Lok Si yang menjulang tinggi. Tapi benar kata orang. Yang tinggi itu biasanya menipu. Terlihat dekat padahal sebenarnya masih jauh, je!
Setelah beberapa menit berjalan, kami agak sedikit bertanya-tanya kenapa jalan yang kami susuri semakin sepi. Apakah kami salah jalan? Sepertinya sih tidak, karena Kek Lok Si tampak makin jelas di depan mata. Tapi kenapa jalanan begitu sepi?
Apakah karena matahari yang bersinar terik? Atau kami datang terlalu pagi? Saat itu memang baru pukul 08:30. Tapi pertanyaan kami juga bertambah tentang pintu masuk ke Kek Lok Si. Mana tangga menuju kuil yang disucikan dan sangat sakral bagi umat Budha tersebut?


Kek Lok Si Temple dari kejauhan. Masuk lewat mana ya?

Sedikit mencari-cari, kami berhasil menemukan tangga menuju Kek Lok Si. Dalam pikiran saya, karena Kek Lok Si ini merupakan tempat ibadah umat Budha dan juga dijadikan salah satu daya tarik pariwisata Penang, maka pintu masuk menuju Kek Lok Si ini akan terpampang jelas sebagaimana Candi Borobudur. Ternyata tidak. Tangga menuju Kek Lok Si berbentuk gang kecil dengan penunjuk arah seadanya, tersembunyi dikelilingi lautan toko yang menjajakan souvenir dan makanan lokal. Karena kami datang agak pagi, saat itu masih sedikit sekali toko yang buka. Suasana menuju kuil jadi sedikit menyeramkan. Tangga yang terbuat dari beton tampak sederhana dan seadanya saja. Tidak mulus dan tidak terawat tampaknya.


Begini lho tangga menuju Kek Lok Si. Gambar ini diambil ketika kami usai mengunjungi kuil tersebut


Salah satu area taman yang pertama kali menyambut mata di Kek Lok Si. Penuh warna dan indah

Kek Lok Si dikenal juga sebagai Pagoda 10 Ribu Budha, atau Temple of Supreme Bliss, atau Temple of Sukhavati. Dibangun oleh seorang penganut Budha yang taat kelahiran Provinsi Fujian, Beow Lean, yang juga merupakan kepala biksu pertama di kuil tersebut. Kuil yang merupakan kuil terbesar di Asia Tenggara ini mulai dibangun pada tahun 1890 dan selesai sempurna pada tahun 1930. Arsitekturnya merupakan perpaduan seni bangunan dan falsafah ala China, Thai, dan Burma. Hal ini memperlihatkan harmoni antara Budha Mahayana dan budha Theravada.
Tahun 2002 dibangunlah patung Dewi Kwan Im setinggi 30,2 meter yang terbuat dari perunggu. Untuk melihat patung dewi yang terkenal welas asih ini, bisa menggunakan lift dengan tiket RM 4 untuk pulang-pergi.


Lift yang bergerak dengan estimasi kemiringan 45 derajat. Tak sampai 5 menit kita pun akan sampai di area Statuta Dewi Kwan Im. Sebenarnya, kita bisa juga menggunakan mobil untuk sampai ke puncak ini. Tapi ini khusus bagi yang mengendarai mobil pribadi.


Itu Dewi Kwan Im-nya yang ada di belakang. Yang sibuk pose di depan abaikan aja lah ya :mrgreen:


Penang dari puncak Kek Lok Si. Matahari sudah menyengat, padahal baru pukul 09:30

Kek Lok Si merupakan kuil yang dibangun apik dan cantik dengan biara, aula tempat berdoa, candi, pagoda, dan taman-taman yang indah. Di kuil ada sebuah pohon yang digantungi pita warna-warni bertuliskan aksara cina yang berisi doa-doa dan harapan-harapan para pendoa. Ada yang memohon kebahagiaan dan perlindungan bagi keluarga, ada pula yang meminta kedamaian dunia.
Berkeliling agak lama, kami merasa cukup menikmati indahnya Kek Lok Si, dan memutuskan untuk tidak mengunjungi pagodanya karena kami ingin segera ke Penang Hill dan menghindari panas matahari yang semakin ganas. Ngomong-ngomong, kalau mau masuk ke pagodanya, ada retribusi yangharus kita bayar. Saya lupa berapa tepatnya. Entah RM 2 atau RM 6, tapi seingat saya, saya melihat tulisan RM 12 di pintu masuknya.

Dalam perjalanan turun, kami melewati sebuah kolam. Sepintas lalu, terlihat kolam itu penuh sekali dengan batu. Kami terperanjat ketika melihat batu-batu itu bergerak!
Ternyata benda-benda itu bukan batu. Tetapi banyak kura-kura yang sedang bersantai dan berjemur. Banyak sekali kura-kura! Saya bergidik melihat begitu banyak kura-kura bertumpuk-tumpuk dalam satu tempat. Geli rasanya.
Mungkin inilah Sacred Turtle Pond atau kolam pembebasan kura-kura. Dalam kepercayaan cina, kura-kura memang melambangkan umur panjang, kekuatan, dan daya tahan.


Kura-kura ninja membuka penyamarannya! #eh *kriiikk*

Dari Kek Lok Si, kami meneruskan perjalanan ke Penang Hill, atau nama lainnya Bukit Bendera. Agak jauh memang, beberapa penduduk lokal yang kami temui menyarankan untuk naik taksi karena Rapid Penang nomor 204 agak jarang, tapi kami ingat dengan taksi Penang yang terkenal dengan argo tembak, sehingga kami memutuskan untuk berjalan kaki saja.
Lumayan juga, kurang lebih 1 kilo kami berjalan menyusuri Jalan Balik Pulau ketika akhirnya sampai di Penang Hill. Dengan ketinggian 830 meter diatas permukaan laut, kami menerka Penang Hill adalah titik tertinggi di Pulau Penang. Untuk mencapai puncaknya, kita dapat menggunakan trem atau mengeluarkan sedikit keringat dengan ber-hiking-ceria. Tiket trem adalah RM 30 bagi warga negara asing, berkali-kali lipat dari yang harus dibayarkan oleh warga Malaysia. Saya pribadi merasa tiket seharga itu termasuk mahal jika hanya untuk menikmati Penang beberapa saat saja.


This… costs RM 30 each! Oh my…

Trem pertama berangkat setiap pukul 06:30 pagi, dan secara teratur berangkat setiap 30 menit sekali. Di puncak, ada beberapa fasilitas, termasuk Owl Museum yang baru dibuka dengan tiket seharga RM 10. Ada pula teropong untuk melihat Penang lebih jelas. Kita harus memasukkan dua koin 50 sen ringgit Malaysia untuk bisa menggunakannya.

Sudah tengah hari ketika kami memutuskan untuk menyudahi kunjungan kami di Penang Hill. Kami pun kembali ke George Town dengan menumpangi Rapid Penang nomor 204 yang berbaris di depan Penang Hill. Misi kali ini, selain harus re-charge batere kamera yang udah teriak-teriak semaput, juga karena sudah waktunya makan siang. Sejak saya rajin update informasi tentang Penang, saya jadi penasaran terhadap ‘signature’ dishes-nya. Gak lain dan gak bukan, nasi kandar dan roti canai!

Expenses:
– Snack & air mineral di Seven Eleven RM 3
– Rapid Penang #201 RM 2
– Lift ke Statue Dewi Kwan Im PP RM 4
– Trem di Penang Hill RM 30
– Rapid Penang #204 RM 2
– Ais Milo di Nasi Kandar Jasmeene RM 1,80
– Paket Double Cheese Burger McD RM 11,35
– Belanja oleh-oleh di GIANT KOMTAR RM 65,65
– Tiket Pinang Peranakan Mansion RM 10
– Makan malam di Tajjudin Hussein: roti canai kosong & ais milo RM 2,50

Then… How Could We Know?

My heart bumps suddenly when i read this painfully beautiful words in a lovely sister’s blog:

Relationship doesn’t get closer by meetings,
But it is sweetened by thoughts.
I care for you in my own strange ways.
Maybe you will never know,
Maybe i will never show

Then… How could we know the feeling of being loved by someone we probably want the most?

My mind flew away to a land not so far away from our home country. Such a friend i have there.
Mr. Engineer, how are you?

Di Penang Aku Dengan Bismillaah

Agak-agak mirip sama judul sinetron ya, tapi sumpedeh gak ada niat untuk melanggar hak cipta kok. Kalo niat niru sih ya ada lah sedikit #eh
Dan jelas bukan typo juga. Memang PENANG, bukan PINANG. Kalo yang disebut terakhir itu masih agak burem kayaknya. Coba saya lihat list dulu, belom ada yang daftar tuh #galaumenerpa #eh 😆

Sebelum kegalauan saya menjadi-jadi, sebaiknya dihentikan saja kata pengantar gak nyambung ini, dan langsung masuk ke inti cerita. Ini akan jadi postingan yang panjang. Sabar yuk dibaca ya kakaaaaakkk…

***
Sejak beberapa bulan yang lalu, saya dan Erma berencana untuk mengunjungi Pulau Penang di Malaysia. Kami memang punya kegemaran yang sama. Senang belajar sejarah dan mengetahui budaya lain dengan cara terjun langsung berbaur dengan masyarakatnya dengan budget sederhana. Hihihi…
Nah, maka direncanakanlah perjalanan ke Pulau Penang ini karena penasaran dengan George Town-nya yang dinobatkan sebagai UNESCO World Cultural Heritage City sejak 7 Juli 2008. Kalau melihat segala informasi yang ada sih, sepertinya kota ini cukup menarik karena penuh dengan warisan sejarah dan kaya dengan akulturasi budaya.
Saat kami berburu tiket promo sekitar 8 bulan yang lalu, belum ada penerbangan langsung Air Asia dari Bandung ke Penang. Jadi kami memesan penerbangan Bandung ke Kuala Lumpur, dan untuk mencapai Pulau Penang akan digunakan jalan darat.

Saya dan Erma sepakat untuk ketemu di depan Optik Internasional yang terletak di perempatan Lengkong Besar-Lengkong Kecil pukul 06:15. Walaupun judulnya budget travelers, tapi menuju bandara Husein Sastranegara teteup pake teksi ya booo… secara akika bawaannya koper, dan bukannya ransel :mrgreen: *dan mumpung bandaranya masih di dalam kota ya, belom dipindah ke Majalengka seperti yang saat ini mengemuka*
Pagi itu, walaupun sudah menjelang pukul 7, Bandung masih berkabut lumayan tebal. Gak seperti biasanya memang. Saya berdoa dalam hati semoga pesawat bisa lepas landas dengan sempurna dan aman selama perjalanan. Kecelakaan pesawat Sukhoi sedikit banyak menerbitkan rasa khawatir dalam benak saya.

Ini pertama kalinya saya berangkat dari Husein Sastranegara. Pas sampai pertama kali… doeeeeennnggg!!! Kaget deh karena bandaranya mungil sekali :mrgreen: kayaknya kok kurang cucok gitu karena kan katanya bandara internasional…
Karena saya dan Erma udah melakukan web check in sebelumnya, kami langsung menunaikan kewajiban membayar airport tax. Rp 75.000 untuk tujuan internasional, sementara untuk tujuan domestik dikenakan tax sebesar Rp 25.000.

Air Asia yang kami tumpangi berangkat tepat waktu: pukul 08:30. Kalau waktu ke Singapur tahun lalu dandanan para awak pesawat saya rasakan bertema gothic, kali ini saya melihat mereka bergaya vampire-look #eh

Selama perjalanan, saya hampir mati gaya. Saya yang biasanya duduk dekat jendela dan menghabiskan waktu dengan membidik langit yang cantik, kali ini harus gigit jari karena kebagian duduk di tengah. Erma duduk di bagian aisle. Dekat jendela, duduk seorang anak kecil yang heboh ketakutan sendiri ketika akan take off dan selepasnya malah sibuk dengan playstationnya.

Kami tiba di Low Cost Carrier Terminal atau LCCT Kuala Lumpur pukul 11:10 waktu Malaysia yang satu jam lebih cepat dari waktu Indonesia bagian barat, 20 menit lebih awal dari yang dijadwalkan. LCCT berjarak 20 km dari KLIA. Ada shuttle bus khusus yang menghubungkan LCCT dengan KLIA.


Oh… ini toh LCCT yang katanya cocok menyandang predikat terminal budget airlines 😆


Antri menunggu pemeriksaan imigresen di LCCT

Ketika saya menyerahkan paspor, petugas imigrasi mengamati dengan seksama, dan bertanya:

Petugas Imigresen LCCT: “Are you Chinese?”
Saya: “Nope”
Petugas Imigresen LCCT: “Tapi ibu kau Chinese?”
Saya: “Bukan”
Petugas Imigresen LCCT: “Tapi kau sangat mirip dengan Chinese”

Eh… kok si mas-nya ngeyel ya :mrgreen:


Antri ke tandas sambil foto-foto :mrgreen:
Si bapak-bapak ini pasti bingung kenapa gak ada ATM M*ND*R* di situ #eh

Sesuai dengan petunjuk internet, untuk menuju Pulau Penang kami harus mencapai Terminal Puduraya terlebih dahulu. Terminal Puduraya sekarang bernama Pudu Sentral. Sebelum keluar dari LCCT, ada beberapa booth penjual tiket bus dengan beragam tujuan. Ada yang ke KLIA, Ipoh, Melaka, maupun Puduraya. Para penjual tiket di booth-booth itu ramai berteriak-teriak menarik pembeli. Hampir gak ada bedanya dengan di Indonesia sih.

Saya dan Erma membeli tiket bis Star Shuttle seharga RM 8/seat dari LCCT ke Puduraya. Menurut waktu yang tertera di tiket, bus akan berangkat pukul 12:45. Tapi dalam kenyataannya, bus baru berangkat pukul 13:02.
Untuk menemukan bus-bus yang akan membawa kita ke berbagai tujuan dari LCCT ini tidak sulit. Setelah keluar dari terminal, jalan sebentar saja kita akan menemukan barisan bus-bus tersebut.

Selain tidak tepat waktu, tampilan bus Star Shuttle ini pun biasa aja. Gak cakep-cakep banget. Mungkin seperti DAMRI ya. Sebelas duabelas deh sama MGI atau Primajasa #eh
Hanya jarak antara kursi lebih besar sehingga membuat ruang untuk kaki lebih nyaman.


Pandangan pertama pada Kuala Lumpur. Gak jauh beda sama Jakarta kan? 😉

Baru 20 menit berjalan, Star Shuttle ternyata memasuki kawasan KLIA. Mampir dulu ternyata untuk menaikkan penumpang. Tapi gak lama sih. Kurang dari 5 menit, bus sudah kembali bertolak menuju Puduraya. Sampai di Puduraya pukul 14:15 dan oh oh… ternyata bus tidak masuk ke terminal Puduraya, melainkan hanya melewatinya. Ketika kondektur bus meneriakkan “Pudu! Pudu!”, kami pun harus turun dan langsung dikelilingi calo bus antar kota-antar propinsi.
Para calo itu tidak kalah agresifnya dengan calo bus di tanah air. Salah satunya bahkan mengaku dari Medan dan sudah tinggal bertahun-tahun di negeri orang, ceunah. Si calo membawa saya dan Erma ke terminal Pudu dan mengarahkan kami ke bus bernama Sri Maju.
Satu hal yang penting saat melakukan perjalanan adalah, percayalah pada kata hati. Saat itu baik saya dan Erma enggan menaiki bus berbadan biru itu. Entah kenapa kami merasa tidak nyaman dan tidak yakin terhadap tampilan bus ataupun calonya. Apalagi mereka ngotot bahwa bus Sri Maju itu hanya sampai Butterworth, sehingga untuk sampai ke Pulau Penang kami harus menyambung perjalanan lagi menggunakan ferry. Akhirnya saya dan Erma menetapkan hati untuk mencari bus lain, dan bertemulah kami dengan bus KKKL Ekspress.
Awak bus mengiyakan ketika kami bertanya apakah bus itu berakhir di terminal Sungai Nibong Pulau Penang. Dengan sedikit ragu dan mengucap basmalah, kami pun memilih KKKL Ekspress. Kami bayar tiket RM 35/seat, dan gak dikasih tiket walaupun kami sudah berkali-kali memintanya pada pak supir dan kondektur. Mereka dengan kalemnya keukeuh menjawab, “Yang penting kan udah duduk dan nanti nyampe ke Penang.”
Saya dan Erma khawatir kalau tiba-tiba kami diturunkan di tengah jalan #eh


KKKL Ekspress yang cukup nyaman. Kursi bisa direbahkan, demikian juga dengan bagian kakinya

Di dalam bus, kami bertemu dengan seorang TKW asal Indonesia yang ingin ke Penang mengunjungi suaminya. Kami sedikit tenang karena setidaknya ada yang bisa dijadikan tempat bertanya.
KKKL Ekspress berangkat pukul 14:45 dan mampir dulu ke terminal Duta untuk menurunkan penumpang.
Sekitar pukul 16 lebih sedikit, bus berhenti di rest area yang terletak di daerah Slim River, negeri bagian Perak, tidak lama setelah lepas dari negeri bagian Selangor.
Bentuk rest area-nya sedikit mengejutkan, mungkin karena saya membayangkan bentuk rest area seperti rest area km 97 tol cipularang :mrgreen:
Menurut Erma, rest area yang kami singgahi itu lebih mirip dengan rest area yang ada di perjalanan mudik ke kampung-kampung di Jawa.
Oya, bus tidak menyediakan toilet. Jadi kalau mau buang hajat, tersedia tandas di rest area yang dikenakan bayaran. Hajat kecil bayar RM 0,20, beli tisu barter dengan uang RM 0,50. Kalau hajat besar? Gak tau juga ya karena gak ada di daftar harga. Yang jelas, pastinya gak bisa hajatan di sana #eh


Salah satu fasilitas di rest area: ini adalah bentuk telepon umum yang lazim dan berfungsi dengan baik di Malaysia

Setelah 30 menit di rest area, kami melanjutkan perjalanan. Pak supir yang tadi memegang kendali setir kali ini meringkuk di kursi khusus driver, dan digantikan oleh pak kondektur selaku rekannya.


“Saya tidur dulu ya,” kata Pak supir baik hati yang mungkin capek

Saya dan Erma sebenarnya agak lapar, tapi kami menahan diri untuk tidak jajan di rest area tersebut. Padahal lumayan lho, ada pisang goreng dan donat yang bisa mengganjal perut. Tapi kayaknya sayang aja, ke Malaysia kok beli pisang goreng dan donat.
Ketika bus akan berangkat, pak kondektur membawa satu plastik pisang goreng dan roti. Saya dan Erma berandai-andai, seandainya makanan itu untuk kami.
Dan ternyata makanan itu memang untuk kami lhooo… ihikihikihik…

Pak supir dan pak kondektur memaksa kami menerima makanan itu. Dan karena kami cukup waspada, maka yang pertama makan adalah Erma. Ditunggu-tunggu, setelah beberapa saat tampaknya tidak terjadi apapun yang mengkhawatirkan kepada Erma, maka saya pun tanpa ragu-ragu langsung mengembat pisang goreng yang ada.
Pisang goreng dan donat ini menjadi pembicaraan saya dan Erma ketika kami menyadari bahwa kami adalah satu-satunya orang asing di dalam bus itu.

Kenapa kami diberi makanan?
A. Karena kami terlihat kelaparan
B. Karena kami satu-satunya orang asing yang ada di situ
C. Karena kami duduk tepat dibelakang supir
D. Karena mereka baik hati
E. Lainnya
Apakah kami akan tetap diberi makanan seandainya kami duduk di belakang?
A. Ya
B. Tidak
Apakah kami akan tetap diberi makanan seandainya kami bukan satu-satunya orang asing di bus tersebut?
A. Ya
B. Tidak
Dan pertanyaan-pertanyaan pilihan berganda lainnya yang tak pernah terjawab

Perjalanan dari Puduraya ke Sungai Nibong sedianya memakan waktu 5 jam. Kami melewati Selangor, dimana Kuala Lumpur yang merupakan federal territory terletak. Setelah Selangor, giliran Perak yang beribukota di Ipoh. Tidak banyak yang bisa dilihat selama perjalanan. Pemandangan berganti-ganti antara pepohonan kelapa sawit atau bebatuan kapur yang mirip dengan yang ada di lintas Sumatera. Pemandangan yang itu-itu saja bukan masalah, saya dan Erma menghabiskan waktu berjam-jam dengan mengobrol banyak hal, sementara penumpang lain tertidur pulas.


Ipoh


Sudah sore. Perjalanan semakin dekat dengan Jembatan Penang


Penang Bridge, eventually…

Waktu menunjukkan pukul 19:30 dan matahari sudah hampir terbenam sempurna ketika kami melewati Penang Bridge. Pak supir dan pak kondektur terlihat senang melihat kami yang tampak gembira melihat kerlap-kerlip Penang Bridge dan hebohnya kami mengambil gambar. Menurut mereka, tidak akan cukup 2 hari kami habiskan untuk mengelilingi Pulau Penang. Mereka terbukti benar later on.

Tak lama, kami sampai di Terminal Bas Ekspress Sungai Nibong.


Terminalnya sepi. Mungkin karena udah malem. Tapi, jadinya malah serem…

Kesan pertama, pulau ini benar-benar pulau yang sepi ya. Bus ada jadwalnya. Mulai dari 15 menit hingga 30 menit sekali. Pak supir dan pak kondektur tidak menyarankan kami menggunakan taksi karena taksi di Penang tidak menggunakan argo. Mereka menyarankan kami untuk menunggu bus di dalam terminal.
Mungkin karena kami orang asing sehingga tidak terbiasa, mungkin juga karena saya terbiasa dengan Depok yang angkotnya siap sedia 24 jam tanpa jadwal tanpa jeda. Ketika butuh angkot tinggal nongkrong di pinggir jalan tanpa perlu khawatir. Keadaan Penang yang sudah mulai sepi padahal baru pukul 20:00 membuat kami was-was. Apalagi terminal Sungai Nibong tampak sepi. Hanya ada sedikit orang yang lewat.

Informasi yang saya dapatkan, dari terminal Sungai Nibong ke hostel tempat kami menginap bisa ditempuh dengan Rapid Penang nomor 401 jurusan Jetty. Tapi mbak-mbak TKW bilang bahwa kami harus ke KOMTAR dulu. Karena merasa dia lebih paham urusan per-Penang-an, kami pun menurut.
Setelah menunggu sekitar 30 menit, datanglah Rapid Penang No. 401.


Ini dia dalamnya Rapid Penang. Kalah deh Metromini, Miniarta, atau Kopaja-nya Indonesia :mrgreen:

Rapid Penang bisa dibilang sebagai moda transportasi utama untuk mengelilingi Pulau Penang. Tarifnya berbeda-beda, tergantung jarak yang ditempuh. Bayarlah dengan uang pas, karena supir tidak menyediakan kembalian. Karena jarak antara satu tempat dengan tempat lainnya tidak terlalu jauh, biasanya saya mengeluarkan RM 2 untuk satu kali perjalanan.

Dari Sungai Nibong, sesuai arahan mbak-mbak TKW, kami turun di KOMTAR. KOMTAR ini sebenarnya singkatan dari Komplek Tun Abdul Razak. Selain sebagai terminal, ada beberapa pusat perbelanjaan di KOMTAR. Ada 1st Avenue, Parkson Mall, Giant, Carrefour, dan lainnya yang saya gak hafal. KOMTAR juga merupakan bangunan tertinggi seantero Pulau Penang.
Ternyata keputusan kami untuk mendengarkan kata-kata mbak-mbak TKW adalah keputusan yang kurang tepat. Dengan bus yang kami naiki dari Sungai Nibong, seharusnya kami gak perlu turun di KOMTAR, melainkan bisa langsung ke hostel kami di jalan Masjid Kapitan Keling atau dikenal juga dengan nama Pitt Street.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kami duduk termangu menunggu bus yang tak kunjung datang di terminal KOMTAR. Jangan bayangkan terminal KOMTAR seperti terminal bus di Indonesia ya. Terminal di sini murni hanya disinggahi beberapa menit bus-bus, gak ada yang ngetem.
Setelah bertanya sana-sini dan tak ada yang tau bus menuju jalan Masjid Kapitan Keling, kami akhirnya mendapatkan petunjuk bahwa kami harus menunggu bus di luar terminal KOMTAR. Ketika sedang menunggu bus, kami bertemu dengan seorang ibu yang tampaknya berasal dari ras cina, dan dia membantu kami memilih bus yang tepat.

Kami akhirnya naik Rapid Penang No. 101 dan turun di Lebuh Chulia. Nyasar-nyasar sedikit, pukul 21:40 akhirnya sampai juga kami di hostel pilihan kami: Red Inn Court.
Acara muter-muter sekitar penginapan yang kami rencanakan sebelumnya terpaksa dibatalkan karena kami lelah luar biasa. Lebih baik tenaga kami disimpan untuk esok hari mengelilingi Penang sampai hati puas. Kamis, 17 Mei, itu ditutup dengan duduk selonjoran di kamar kami yang nyaman dan makan pisang goreng pemberian pak supir sisa siang hari tadi.

Expenses:
– Tiket Bandung – Kuala Lumpur PP IDR 550.000
– Taksi dari lengkong besar ke bandara IDR 28.000 (termasuk parkir taksi di bandara IDR 3.000)
– Airport tax untuk tujuan internasional IDR 75.000 (kalau yang domestic itu IDR 25.000)
– AQUA di ruang tunggu boarding IDR 4.000 (yang ukuran paling kecil)
– Kitkat di ruang tunggu boarding IDR 13.000 (bahkan lebih mahal daripada harga di dalam pesawat!)
– Beng-beng di ruang tunggu boarding IDR 3.000
– Tiket bus Star Shuttle LCCT – Puduraya RM 8
– Tiket bus KKKL Ekspress Puduraya – Sungai Nibong RM 35
– Rapid Penang #401 RM 2
– Rapid Penang #101 RM 2
– Hostel Red Inn Court RM 70 (2 nights, standard 2 bed mixed dorm with shared bathroom)

To The Land The British First Landed

Saya dan Erma menghabiskan waktu liburan long weekend 17-20 Mei kemarin dengan menuntaskan rencana jalan-jalan yang sudah kami gadang-gadang sejak saya ditempatkan di Bandung.
Sejujurnya ya, saya sebenarnya lebih suka menghabiskan long weekend di rumah, sehingga kalau urusan traveling itu seharusnya sih emang ngambil jatah cuti yang ada. Tapiiiii… karena tahun ini dihitung sebagai tahun kedua saya bekerja, maka jatah cuti saya pun dihitung secara proporsional. Setelah dihitung-hitung dan dipotong cuti bersama, ternyata saya hanya punya 6 hari cuti, yang tentunya harus digunakan secara bijaksana :mrgreen:
Erma pun, sebagai seorang guru, harus pintar-pintar menyesuaikan dengan jadwal siswa-siswa ciliknya. Thus, jelaslah bahwa kami harus menggunakan long weekend kalau emang pingin traveling.

Nah… seperti yang saya tulis di post sebelumnya, tiga hari sebelum long weekend kan penuh dengan rkk dan tanda tangan pk ya…
2 hari pertama sih aman, saya masih bisa main petak umpet sama pak bos; saya lebih banyak di luar ruangan rapat dengan alasan mengurus tanda tangan pk. Tapi di hari ketiga, gak bisa lagi dong ah kayak gitu, karena udah gak ada pk yang harus ditandatangani lagi.
Maka terjebaklah saya dalam rkk yang berlangsung seharian, dan baru sampai ke kos jam 21.30.

Seketika saya jadi malaaaaasss sekali untuk traveling esok harinya. Apalagi Erma, yang sedang sakit, gak juga membalas kicauan saya. Entah kenapa, saya gak ngerasa sreg aja untuk menjelajah tempat itu sendirian. Padahal persiapan sudah dilakukan jauh hari dan bisa dibilang sudah cukup matang. Bhihikhik…

Ah tapi Alhamdulillaah… menjelang tidur, Erma mengirim pesan, dan kami menyepakati jam ketemuan esok pagi.

***
So, here we go, berangkat dengan budget airlines, Air Asia AK 1329, dari Bandara Husein Sastranegara, Bandung, tepat pukul 08.30.

Stories are about to come. Insha Allaah.
Ngumpulin mood dan tenaga dulu nih, ini baru preambule-nya aja ya karena masih siwer mata gara-gara ngedit foto segambreng :mrgreen:

It Question

I, actually, really want to ask once more a question i’ve heard the answer time ago. I wish for a different answer.
I pray for that different answer.
Yet, i’m so scared about getting hurt again, since the way we talk does not even get better.

Without the opposite party knows, i miss our old days so much. Good old days

Self-talk 😉

Not In The Mood For…

…Credit Approval Committee.

Alias RKK.

Lha, emang kapan saya pernah mood buat RKK, coba??? :mrgreen:

Padahal selama dua hari terakhir ini, RKK lagi banyak-banyaknya. Ya mungkin karena akan ada long weekend besok ini ya, jadi semuanya dikejar sebisa-bisanya selesai dalam waktu tiga hari ini. Dan sebenernya gak cuma RKK, tapi juga penandatanganan PK, yang mana yang disebut terakhir ini jadi semacam blessing in disguise buat saya. Hihihi…
Karena saya sedang ada di titik jenuh RKK, saya menjadikan penandatanganan PK sebagai dalih untuk bisa keluar dari ruang rapat dan lebih memilih berlarian ke sana ke mari ngurusin segala hal terkait tanda-tangan PK :mrgreen:

Hmmm…

Tapi mungkin juga, karena saya iri pada D yang sedang ceria seceria-cerianya karena baruuu aja ngobrol-ngobrol lagi sama F, galauannya :mrgreen:
Iya, akhirnya si D menelan gengsinya bulat-bulat dan bersedia kembali komunikasi sama F. Dan akibatnya yaaaaa dia jadi kegirangan sendiri gitu dan lebay-lebaynya langsung kumat. Aaaaaaahhhhh iriiiii *tingkat dewa* *lirik mr. engineer* #eh

Posting macam ini? Abaikan :mrgreen:

Dislike: Unfairness

Sepiring buah dalam porsi menggunung tergeletak diatas meja sebelah mejanya H yang notabene duduk di depan-arah diagonal saya. Buah-buahan itu punya H, dan saya pun meminta sepotong. Jawaban H membuat lahirnya dialog selanjutnya seperti ini:

Saya: “H, kenapa pas Pak A dan M yang minta, lo langsung ngasih, sementara ketika gw yang minta, lo terlebih dulu bilang kalo buahnya itu buah kemaren lah dan lain-lain, baru setelahnya mau ngasi gw?”

H tertegun. Tampak terkejut dengan pertanyaan saya.

H: “Pertanyaan lo kayak soal TOEFL, Ke. Gw bingung jawabnya”

‘Bingung’? Yakin tuh, bingung?

.
.
..
…i’m actually kinda half sad-half mad, but this apparently makes me promise myself that i won’t ask for something again from H. Anything. Anything. No more. This is more than enough.
I DON’T CARE!!!
😦 😦 😦

Hummingbird Once Again

Masih dalam rangka farewell-nya Mbak Galuh yang dipromosi naik jabatan ke Jekardaaaaahhh, kali ini rekan-rekan kerja yang cukup dekat dengan Mbak Galuh diundang secara khusus untuk makan malam bersama, dan tempat yang dipilih kali ini… Hummingbird. Lagi. Yuk. Mbak Galuh itu kalo udah suka sama satu tempat emang demennya balik ke situ lagi, ke situ lagi :mrgreen:

Well yaaa… then this post contains another snapshot of mine over that cute and warm place. Suka sama dekorasi interiornya, tapi sejujurnya saya agak bosen sama Picasa nih, pengen pake software edit yang lain tapi masih buta banget soal sotosop 😆

And here are the respective guesses; setengah dari RCO *unit kerjanya Mbak Galuh* dan setengah lainnya dari CBC *setengah unit kerja saya… setengahnya lagi kan diri ini dimiliki Legal Group #eaaa*


Kloter Pertama. Tiga orang datang menyusul karena lagi di’keramasin’ Pak Bos Besar.
Left to Right: H, Pak A, W, Pak T, Pak AR, Mbak Galuh, Mbak N.
Berdiri: Pak F & G


Ini versi lebih lengkap dan eventually, paling lengkap.
Di sebelah saya itu ada C dan F. Di sebelah H itu D. Pak H gak bisa dateng karena masih di’keramasi’ Pak Bos Besar.


Makan-makannya selesaaaaaiii… mari pulaaaaannnggg!!!
*Tapi Pak A masih sibuk mem’prospek’ W. Cemungudh ea Kakak!* 😆

Maintain to… GROW?

Hari ini, D membuat saya sungguh terharu #eh
Oke, mungkin lebih tepat kalo dibilang, status yang dipasang D di BBM-nya kemarin membuat saya terharu hari ini #eh

Jadi ceritanya si D ini menuliskan sebaris kalimat di status BBM-nya yang mengindikasikan bahwa dia sudah insyaf dan akan kembali ke jalan yang benar. Dia telah menemukan jawaban dari segala hal yang selama ini menggelayuti hatinya dan membuatnya galau *tsaaaaahhh*
Btw, sebentar deh, saya kan gak pake BB ya, lalu kenapa kah saya bisa tau statusnya si D?
Tak lain dan tak bukan adalah karena saya pinjem BB-nya Bu Liong buat nge-BB si D dalam rangka menanyakan living cost di negeri asing *ehem*
Kembali ke statusnya si D.
Jadi statusnya itu menggambarkan bahwa dia telah menemukan jawaban dengan cara yang tak disangka-sangka, dan berharap itu semua yang terbaik *nangis terharu*

Hari ini, kami berdiskusi mengenai hal tersebut.
Jadi, menurut si D,

“Dalam kesendirian gw selama beberapa hari lalu di Bali ya, Ke, gw berpikir lebih dalam dan lebih jernih, dan gw merasa…”
“Iye bo?”
“Gw mau ubah strategi. Sekarang gw mau ‘maintain to grow'”

Saya histeris dong aaaaahhh!!!
Soalnya selama ini kan si D selalu kepengennya pake strategi ‘exit’, padahal saya *karena merasa senasib* pengennya dia ‘grow’ atau paling gak ‘maintain’ deh :mrgreen:
Dan ketika mendengar tekadnya dengan strategi barunya itu, wajar dong kalo saya histeris kesenengan! 😆

“Setelah gw renungi, saat itu gw lebih baik ibadahnya. Lebih baik kesehatannya. Lebih semangat kerjanya. Lebih terarah hidup gw, Ke. Makanya gw pikir, gw pengen maintain to grow aja. Karena gw jadi orang yang lebih baik. Dan dia kan baik, dia gak salah apa-apa, dia gak dosa apa-apa. Dia gak boleh diginiin. Salah kalo gw ngejahatin dia. Dosa gw.”

Saya menatap D penuh keharuan, sambil baca jampi-jampi dalam hati *trus jampi-jampinya ditiup jauh ke negeri seberang* 😆
Saya beneran turut berbahagia deh, kalo akhirnya D menyadari kegalauannya selama ini. Dan ikutan seneng sama strategi barunya yang mudah-mudahan bener-bener dilaksanaken secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ahay!

.
.
.

“Tapi, Ke, itu kayaknya strategi karena saat itu sepi kali ya, sekarang gw mulai berpikir untuk exit lagi…”

*DOH!*