Cerbon? Kepriben, Je?!

Jumat malam, sekitar pukul 21.30, Nyonya Besar mengirim pesan melalui WhatsApp.

“Udah sampe rumah Nina?”
“Belom, Ma, masih jauuuuuhhh… baru sampe Sumedang.”

Saat itu travel TransRevo yang gw tumpangi untuk sampai ke meeting point dengan Yeni, Pichu, dan Adedi sedang berhenti sejenak di rumah makan Sari Rasa di daerah Sumedang. Bukan hanya TransRevo yang mendinginkan mesin di sini, beberapa travel dan sebuah bus pariwisata juga ada. Kesempatan ini digunakan oleh supir maupun penumpang untuk mengisi ‘bensin’ mereka juga. Ada yang makan, minum kopi, atau sekedar mengisap rokok. Salah seorang penumpang TransRevo yang sama dengan gw juga ikut makan, sementara gw dan para penumpang lainnya melirik jam dengan gelisah. Ada sedikit rasa kesal juga pada ibu pejabat yang sedang makan dengan santainya itu. Supir kami memberi kode bahwa kami hanya menunggu ibu selesai makan saja saat itu. Rasa kesal itu sebenarnya sudah ada sejak penjemputan. Ibu itu satu-satunya yang belum siap ketika dijemput, bahkan setelah menaiki mobil, ada beberapa barangnya yang tertinggal hingga harus diambil kembali.
Kami ingin cepat sampai di tujuan masing-masing. Kalau jam 21.30 aja baru sampai Sumedang, jam berapa mau sampai di meeting point? Rasanya tidak mungkin bisa sampai jam 23.30.

***

Salah seorang sahabat kami, Nina, meninggalkan Depok karena mengikuti suaminya bertugas. Dalam waktu dekat, sepertinya Nina akan berpindah ke daerah lain ke pulau seberang. Gw, Yeni, Pichu, dan Adedi pun sepakat untuk mengunjungi Nina, kami melihat ini sebagai kesempatan jalan-jalan berlima. Judulnya kami ini teman dekat, tapi belum pernah kami melakukan perjalanan keluar kota bersama-sama. Setelah diskusi panjang lebar dengan melibatkan calon tuan rumah, kami sepakat untuk berangkat dari tempat masing-masing pada Jumat, 28 Mei.
Jadilah, Pichu, Yeni, dan Adedi berangkat dari Jakarta menggunakan kereta api. Cirebon Express keberangkatan pukul 20.40 dari stasiun Gambir. Sementara gw memesan TransRevo untuk keberangkatan pukul 18.00. Seperti juga travel lain yang melayani rute ke arah tatar parahyangan timur, TransRevo pun memberikan layanan antar door to door. Dan karena door to door service, ketika dikatakan berangkat pukul 18.00, para penumpang akan dijemput satu persatu ditempat masing-masing satu hingga dua jam sebelumnya. Pukul 18.00, travel diusahakan sudah meninggalkan Bandung.

Waktu Lupita masih di Bandung, gw memperhatikan bahwa setiap mudik ke kampung halamannya di Indramayu, dia selalu grabak-grubuk dijemput travel jam 16.30, pas-pasan sama waktu bubar kantor. Kadang travelnya datang lebih cepat dan Lupita diburu-buru untuk segera berangkat. Belajar dari pengalaman itu, ketika pesan TransRevo, gw berulang kali mewanti-wanti bahwa gw baru bisa dijemput diatas jam 16.45.

Di hari H, sekitar pukul setengah lima kurang, si supir TransRevo menelpon gw, melaporkan posisinya. Saat itu dia masih berada disekitar Pasteur, baru keluar dari pool-nya. Katanya baru sekitar 20 menit lagi akan sampai di tempat gw. Gw pun bersiap-siap. Pukul 16.35, gw sudah siap di lobby kantor, menjadi orang pertama yang keluar ruangan.
Dan setelah lima, sepuluh, duapuluh, tigapuluh… dan akhirnya setelah hampir satu jam menunggu, barulah TransRevo datang. Armadanya berupa kijang innova. Gw adalah orang pertama yang dijemput. “Bandung macet dimana-mana!” kata pak supir ketika gw tanya kenapa lama sekali baru datang, padahal masih ada empat penumpang lain yang harus dijemput dan saat itu sudah pukul 17.45.
Untunglah lokasi penumpang lainnya tidak terlalu jauh. Penumpang terakhir dijemput di Kiara Condong.

***

Jumat sore itu hujan mengguyur Bandung, membuat jalan semakin macet dan ricuh. Mobil bergerak lambat. Gw ingat bertanya jam berapa kira-kira akan sampai di tempat istirahat di Sumedang. Supir menjawab, sekitar jam setengah delapan. Kenyataannya, pukul 19.30 kami bahkan baru keluar tol buahbatu.

Jalan yang basah karena hujan, rute yang berkelok-kelok dan sempit, dan ramainya jalan membuat mobil tidak bisa berjalan cepat. Terakhir kali gw ke Cirebon tahun lalu, gw butuh waktu lima jam untuk sampai tujuan. Kali ini, setelah hampir empat jam, perjalanan baru mencapai restoran Sari Rasa di Sumedang.
Melanjutkan perjalanan, mobil tetap tidak bisa bergerak cepat karena terhalang banyaknya truk pengangkut batubara. Gw mencoba tidur, tapi tak bisa karena jalan yang berkelok-kelok dan pak supir yang berani melakukan manuver-manuver, menyalip kanan-kiri dengan lincah membuat jalannya mobil menjadi sangat terasa goncangannya.

Pukul 00.30 dinihari, gw sampai di perumahan Taman Evakuasi. Nina menunggu gw didepan rumahnya. Pichu ikut menunggu di teras. Yeni sedang dikamar mandi, dan Adedi baru akan mulai menyantap mi goreng instan. Mereka yang datang dari Jakarta tiba di rumah Nina sekitar setengah jam lebih dulu daripada gw yang menempuh hampir 7 jam perjalanan dari Bandung.
Mengingat kata-kata teman satu kos gw yang tinggal di Cirebon, 7 hingga 8 jam perjalanan dari dan menuju Cirebon adalah hal yang biasa saat ini.

***

Rasanya malas sekali membuka mata Sabtu pagi itu. Tapi sudah jauh-jauh ke Cirebon, masa’ cuma bersantai-santai di rumah?
Setelah semuanya berdandan rapih dan wangi, termasuk Fathar, bocah semata wayangnya Nina, kami pun bersempit-sempit didalam swift-nya Nina. Yeni yang paling seksi dapet jatah duduk di depan disamping Nina, tugasnya memangku Fathar. Gw, Adedi, dan Pichu berbagi kursi di belakang. Hari itu juga gw mendapat gelar baru dari Fathar. Perkenalkan, saya si “Tante Cantik” *terharu*
Fathar adalah satu-satunya cowok yang bilang saya cantik *nangis sesegukan* 😆

Sebelum keliling Cirebon, kita sarapan dulu dong. Tujuannya gak lain dan gak bukan. Nasi Jamblang Ibu Nur di jalan Cangkring yang terkenal itu. Tempat makan ini terdiri dari dua lantai, dimana lantai dua merupakan smoking area. Tempat parkirnya lumayan juga, tepat diseberangnya, bersebelahan dengan dapurnya. Musala terletak disamping rumah makan. Menurut Nina, bangunan permanen dengan cat hijau muda yang segar seperti sekarang ini merupakan bangunan baru. Sebelumnya Nasi Jamblang Ibu Nur menempati tempat yang biasa saja.
Saat kami datang, antrian belum terlalu panjang. Konon, semakin siang apalagi di kala libur, antrian bisa mengular bahkan sampai ke pintu.

Nina dan Fathar mengambil meja, sementara gw, Pichu, Yeni, dan Adedi, mengantri makanan. Sama seperti Ampera atau Laksana atau Bancakan di Bandung, di Nasi Jamblang Ibu Nur ini pun para calon pembeli mengantri dan mengambil sendiri lauk pauk yang diinginkan. Diujung meja lauk pauk, bertugas seorang kasir. Jadi abis pilih-pilih makanan, bayar dulu, baru deh kembali ke tempat duduk dan makan. Kalau mau pesan jus juga bisa, tapi bayarnya terpisah kalo gak salah.

Ini yang gw pilih: satu porsi nasi putih dengan pepes jamur, udang asam manis, sebutir telur asin, dan sedikit sambal. Minumnya seperti biasa teh botol sosro dong. Semuanya Rp 22.500.

udang pepes jamur telor asin nasi jamblang
nasi jamblang ibu nur
nasi jamblang ibu nur 1

Makannya menggunakan piring melamin yang diatasnya ditaruh lapisan daun jamblang atau daun jati. Menurut gw sih porsinya pas, terutama kalo niatnya emang buat sarapan. Pepes jamurnya enak, telur asinnya enak, udangnya juga enak. Pichu, Adedi, dan Yeni bahkan sampe nambah. Dan gak heran kalo pengunjungnya membludak. Hingga sore hari saat kami kembali untuk memesan tahu gejrot Ibu Wiwi yang tandem di situ, pengunjung masih saja antri.

Buat penggemar nasi jamblang ini, jangan lupa ya kalo mereka tutup dari tanggal 8-10 Juli ini, dan baru buka lagi tanggal 11 Juli mulai jam 2 siang selama Ramadhan.
Dari nasi jamblang ibu nur, kami melanjutkan perjalanan sesuai itinerary yang Nina tetapkan. Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman, tapi untuk dua tempat ini gw akan mencoba menuliskannya secara terpisah ya…

***

Teman kos gw yang asal Cirebon mengingatkan gw untuk tidak lupa mampir ke es duren gagu pasuketan. Pokoknya mantab surantab lah, dia berpromosi. Maka sepulangnya dari Keraton Kanoman, mengikuti permintaan gw, Nina mengantar kami menyusuri jalan Pasuketan yang terletak memang tak jauh dari jalan Kanoman.
Setelah dua kali bolak-balik dari ujung ke ujung dan bertanya pada tukang parkir, akhirnya ketemu juga dengan tukang es durennya. Dia mangkal di depan deretan kios Istana Arloji dan Toko Olahraga Pasuketan, gerobaknya dicat warna pink. Tapi, kok dia bisa bicara? Katanya gagu? Jangan-jangan kami salah gerobak.

Saat gw dan Pichu menyantap es duren, datang seorang laki-laki berbaju hijau muda dengan logo pertamina. Dengan terbata-bata dia bicara pada kami. Ternyata benar, ini memang es duren gagu pasuketan yang kesohor itu. Hanya tadi saat kami baru datang, sepertinya bapak itu sedang shalat. Jadi teman-temannya sesama pedagang kaki lima di situ yang bantu melayani.

es duren gagu pasuketan
Abang es duren gagu, difoto dari dalam mobil

durian ice cream with the real durian fruit
Es Duren Gagu Pasuketan. Es krim rasa duren dan dua buah daging durian, disiram sirup tjampolay khas Cirebon. Hmmm… tidak seperti es puter lainnya yang bertekstur agak kasar, es krim rasa duren ini bertekstur halus. Satu mangkok ini dihargai Rp 9.000. Enaaaaakkk!!! Gw dan Pichu sukaaaaa!

***

“Yang mana yang bagus?” Adedi menghamparkan empat helai kain batik dihadapan gw dan Vika yang sedang sama bingungnya memilih batik diantara begitu banyaknya pilihan yang cantik-cantik.

Trusmi memang tempat yang tepat bagi para pecinta batik, atau bahkan bagi wisatawan yang sekedar cari oleh-oleh. Trusmi adalah satu daerah di kawasan kabupaten Cirebon yang terkenal sebagai sentra batik dengan toko-toko batik di kiri kanan jalan.
Sebenarnya di kami hanya sempat mampir di dua toko. Toko pertama adalah Lebet Sibu, langganan dan kebanggaan ibunya Nina. Suasana tokonya memang nyaman dan sangat homey, tampilan tokonya juga cantik. Mereka menyediakan berbagai macam pilihan kain batik, mulai dari batik print, batik cap, hingga yang paling mahal: batik tulis. Harganya pun bervariasi. Selain itu mereka juga bisa membuat baju customized, bisa dikirim ke pembeli jika si pembeli tinggal di luar kota. Salah satu servis lainnya, mereka juga menyediakan tahu gejrot gratis sebagai compliment.

Kalau Lebet Sibu punya interior seperti rumah tinggal, toko kedua yang kami masuki benar-benar layaknya toko sentra batik, seperti Khrisna di Bali. Disinilah saya dan Vika mulai khilaf :mrgreen:

Bahkan Adedi yang sebelumnya keukeuh sureukeuh akan fokus gak bakal belanja, malah jadi orang pertama yang dengan sigap mengambil berhelai-helai kain batik, dan membelinya.
“Lumayan kan, beli 3 jadi 35.000 sehelai. Kalo beli satu harganya 40.000,” katanya.

batik cantik trusmi 1
Tebak, mana yang punya gw dan mana yang buat mister babeh dan Nyonya Besar?
batik cantik trusmi
***

Sebelum pulang ke rumah Nina, kami mampir dulu di jalan Ir. Juanda untuk makan siang yang super terlambat. Empal Gentong H. Apud jadi pilihan. Tapi biarpun judulnya empal gentong, gw, Pichu, dan Adedi memilih sate kambing muda, sementara Yeni yang udah lemes dan Nina memilih empal gentong yang gak pake jeroan.
Mereka memang hanya menyediakan tiga menu: empal gentong, empal gentong garang asem, dan sate kambing muda. Empal gentongnya sendiri ada yang empal gentong daging, empal gentong kikil, dan satu macam lagi yang gw lupa.

Sate kambing muda yang nikmat, apalagi dimakan pake nasi panas. Nyam nyam nyam!
sate kambing muda haji apud

***

Belanja batik udah, kali ini kami ke toko sentra oleh-oleh “Pangestu” di jalan Sukalila Utara No. 4C. Sasaran utamanya tentu sirup cap buah tjampolay khas Cirebon rasa pisang susu. Sayang, habis. Sebagai gantinya, gw membeli Jenisa: sirup jeruk nipis dengan madu, sementara Pichu membeli Jeniper: sirup jeruk nipis peres, tanpa madu. Selain Jenisa, gw juga membeli beberapa makanan kecil seperti mino rasa durian, gula batu, dan kue satu kesukaan mister babeh. Tak lupa, Yeni juga membeli ikan jambal kesukaan keluarganya.
Masih penasaran dengan sirup cap buah tjampolay rasa pisang susu, akhirnya kami menemukannya di toko oleh-oleh “Sumber Jaya” di jalan Siliwangi nomor 229-231. Satu botol dihargai Rp 20.000, 500 rupiah lebih mahal daripada yang dijual di indomaret :mrgreen:
Sirup cap buah tjampolay ini tersedia dalam banyak rasa, seperti strawberry, rose, mocha, durian, dan lainnya. Tapi yang paling heits memang si pisang susu ini. Jadi deh, bawa pulang satu botol buat bekal buka puasa di Depok. Ramadhan kan sebentar lagi.

Udah selesai ya beli-beli oleh-olehnya, Nina pun mengarahkan mobilnya ke arah Kuningan. Rencananya kami akan makan malam di rumah makan Klapa Manis, yang katanya punya view paling bagus di Cirebon. “Tapi rasa makanannya biasa aja lho ya,” Nina sudah mewanti-wanti. Oke lah gak apa-apa, penasaran juga pengen tau karena baca beberapa reviewnya di internet.

Klapa Manis terdiri dari tiga lantai. Kalau kita datang dan turun dari mobil, lantai yang sejajar dengan kita itu adalah lantai tiga. Konsep ruangannya sendiri semi outdoor. Pemandangannya lumayan lah, penuh dengan kerlap-kerlip lampu di kejauhan. Mungkin akan lebih bagus kalau datang ke sini saat matahari terbenam.

cirebon viewed from klapa manis
klapa manis
klapa manis lantai 1
klapa manis lantai 2

Menu yang ditawarkan cukup beraneka ragam walau menitikberatkan pada masakan sunda. Kami memesan ayam goreng dabu-dabu, ayam bakar dabu-dabu, nasi tutug oncom, plecing kangkung, iga penyet spesial, dan satu jenis makanan lagi. Plecing kangkungnya tidak seperti yang ada dalam bayangan kami, hingga Adedi memutuskan untuk memesan satu menu lagi.

ayam dabudabu nasi tutug oncom
Ayam Dabu-dabu dan Nasi Tutug Oncom yang gurih dan oncomnya melimpah ruah

plecing kangkung klapa manis
Plecing Kangkung yang tidak tampak seperti plecing kangkung

iga penyet special klapa manis
…dan Iga Penyet Spesial-ku yang dingin, tolong jangan dibandingkan sama Warung Tekko atau Konro Bakar ya! Beda jauh, kakaaaaakkk…

Dan benar kata Nina, rasa makanannya biasa aja. Makanan dihidangkan tidak dalam keadaan panas. Walaupun tidak termasuk kategori ‘tidak enak’, tapi sepertinya Klapa Manis memang menjadikan pemandangan Cirebon dari ketinggian sebagai andalan. Daaann biarpun ‘biasa aja’, justru foto-fotonya yang paling banyak dipajang ya ceuuu… 😆

***

Minggu pagi, setelah mengambil pesanan tahu gejrot ibu wiwi, dengan menumpangi taksi langganan Nina kami menuju stasiun Kejaksan atau yang umum dikenal sebagai stasiun Cirebon. Untuk menuju atau dari stasiun memang hanya ada taksi, itupun tanpa argo. Dari stasiun ke pusat kota rata-rata dikenai tarif Rp 50.000. “Kalau pake argo, mereka rugi. Cirebon kan kota kecil, bisa-bisa semua bayar pake minimum payment,” terang Nina.

Setelah check in dengan menunjukkan KTP masing-masing, kami segera menaiki gerbong A kereta api Cirebon Express. Sebelumnya kami sempatkan dulu foto-foto. Ternyata stasiun Kejaksan itu tidak terlalu besar.

stasiun cirebon
off to jekardah
Keliatan gak tuh Nina dan Fathar di belakang?

***

Sekitar pukul 13.00, gw, Pichu, Yeni, dan Adedi turun di stasiun Jatinegara, sementara Nina dan Fathar melanjutkan perjalanan untuk kemudian turun di stasiun Gambir. Kenapa berbeda, karena Nina dan Fathar masih punya urusan di Jakarta dan dijemput oleh suaminya disana. Sementara gw berempat akan langsung naik kereta commuter line ke arah Depok. Walaupun jadi jauh memutar karena dari Jatinegara kereta harus ke Kampung Bandan, lalu ke Angke, lalu ke Tanah Abang, baru ke Depok, tapi kami dapet tempat duduk karena kami naik dari stasiun paling ujung.

Sementara menunggu kereta yang akan berangkat pukul 13.16, kami memutuskan untuk makan siang dulu di baso malang Oasis, dan Yeni membeli tiket.
Surprisingly, entah karena lapar atau apa, tapi gw merasa si baso malang Oasis ini enak!

last lunch - baso malang oasis stasiun jatinegara
…dan terjangkau! Bihun bakso ini Rp 15.000, Jendral! 😆 dan gak pake tax-tax-an! HURRAAAHH!!!

Dan surprisingly lagi, tiket kereta commuter line AC Jatinegara-Depok itu Rp 3.500 saja! Kami sampai meminta Yeni untuk meyakinkan, apa benar harga tiket kereta demikian murahnya. Ternyata, hari minggu tanggal 30 juli adalah hari percobaan bagi harga tiket progresif yang mulai berlaku tanggal 1 juli keesokan harinya.
Kini untuk pembelian tiket kereta, penumpang diberikan struk. “Ini pasti akan bikin antrian hebat di mana-mana,” kata salah seorang diantara kami. Dan benar, bahkan selain antri, gw dengar kereta hampir tiap hari bermasalah saat ini. Entahlah ada yang mogok, datang terlambat, atau gangguan sinyal, apapun itu, pelayanan kereta api Indonesia saat ini semakin minus saja nilainya.

***

Kami sampai di stasiun Depok pukul 15.00 dan ibunya Pichu sudah menunggu di sana.

Terima kasih ya Tante, udah dianterin sampe depan komplek rumah. Terima kasih juga buat Nina, yang udah jadi tuan rumah yang oke punya walaupun kita nenangganya kurang lama :lol:, dan buat de’ Fathar yang super aktif dan nempel terus sama mama Nina dan udah bilang kalo tante ini cantik *kecups* 😆

momma's boy
closing

Pengeluaran:
.TransRevo Bandung-Cirebon 110.000 (telp. 022-70668222)
.Nasi Jamblang Ibu Nur 22.500
.Es duren gagu Pasuketan 9.000
.Trusmi *ehm.. kasih tau gak yaaa…*
.Sate kambing muda+nasi di Empal Gentong H. Apud *ditraktir Nina*
.Tahu gejrot Ibu Wiwi 6.000/porsi *gw beli lima porsi: satu makan ditempat, empat buat oleh-oleh*
.Oleh-oleh toko Pangestu 49.500 *Jenisa, gula batu, mino rasa durian, dan kue satu*
.Oleh-oleh toko Sumber Jaya 20.000 *sirup cap buah tjampolay rasa pisang susu*
.Iga Penyet Spesial+Cappucino di RM. Klapa Manis 55.000
.Aqua 2.000
.Nutriboost 5.200
.Susu Ultra rasa coklat 250 ml 4.200
.Porter fee 20.000
.Tiket CIREKS executive gerbong A kursi 2A Cirebon-Jakarta 135.000
.Bihun Bakso di Baso Malang OASIS 15.000
.Tiket Commuter Line Jatinegara-Depok 3.500
.Becak 5.000